Jika Kenichi Ohmae pada 1990 lalu bilang dunia ini sudah tak berbatas (borderless world), ditimpali wartawan pemenang tiga Pulitzer, Thomas L. Friedman, yang kukuh menyatakan “the world is flat”, kebenarannya dibuktikan sosok Pak Bolong di Tanah Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Amma Toa (tetua) suku terpencil Kajang yang sangat dihormati di Tana Toa—wilayah pertama yang diciptakan Tuhan di Bumi menurut kepercayaan mereka—itu sudah tiga kali divaksinasi Covid-19.
-
ARTINYA, betapa pun terpencilnya lokasi Suku Kajang, informasi pandemi sampai pula di sana. Dan Pak Bolong, lelaki kelahiran 1962 itu, tidak ingin selamat sendiri. Keterpencilan Suku Kajang tidak selamanya karena jarak. Secara geografis, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, itu hanya 56 kilometer dari pusat kota Bulukumba, Sulawesi Selatan. Namun, untuk datang ke sana orang tak bisa bebas memilih moda transportasi.
Aturan adat hanya membolehkan orang datang dengan menunggang kuda, selebihnya berjalan. Itu pun harus dengan kaki telanjang, tanpa alas apa pun di kaki. Belum lagi pakaian yang dikenakan, mutlak kudu berwarna hitam. Sebagai bagian dari adat yang mengharuskan hidup sederhana atau tallasa' kamase masea.
Sebagian besar masyarakat Kajang sebenarnya telah memeluk agama Islam. Namun, dalam kehidupan keseharian Pasang ini masih tetap dijalankan sebagai pandangan hidup masyarakat adat Kajang. Tentang aturan Pasang yang mengharuskan orang-orang Kajang memakai pakaian berwarna hitam (baju le’leng), itu pun memiliki falsafah tersendiri. Menurut adat, hitam adalah warna yang melambangkan kesederhanaan, kebersamaan, dan kesetaraan. Dengan memakai warna hitam, seluruh orang Kajang dianggap setara dan tak boleh diberi perlakuan yang berbeda. Pakaian hitam juga dimaksudkan agar pemakainya selalu ingat kematian. Itulah bagian dari aturan hidup sebagai ajaran leluhur yang mereka sebut Pasang Ri Kajang atau Pesan di Kajang.
Menurut Asar Said Mahbub, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hassanudin yang meneliti masyarakat adat Kajang, sepanjang Pasang ditatai dan diwariskan secara benar, Suku Kajang meyakini maka tidak akan ada terjadi bencana. Begitu pun juga saat meyakinkan masyarakat adat Suku Kajang untuk vaksinasi Covid-19.
“Kami perlu menggandeng ketua adat atau pun pemangku adat. Hanya dengan begitu masyarakat Suku Kajang mudah tergerak untuk menerima,” kata Muksin (45), tenaga kesehatan di Puskesmas Kajang yang menjadi petugas vaksinasi untuk Suku Kajang.
Hal ini pun dibenarkan Ibu Hera, tenaga kesehatan Kabupaten Bulukumba. Pasalnya, selain memegang erat nilai adat, pola hidup Suku Kajang pun bercirikan patron-klien, sehingga apa pun yang dikatakan dan dilakukan tetua adat akan dilakukan warga.
“Itulah yang harus kami lakukan kalau mau program vaksinasi berjalan sukses,” kata Muksin.
Vaksinasi memang menjadi program wajib yang harus dilakukan sesuai aturan pemerintah, tetapi Muksin mengakui, tanpa dukungan Pak Bolong, sulit hal itu bisa terwujud di Suku Kajang.
Namun, meski dukungan dari Amma Toa sudah di kantong, penerimaan akan vaksinasi untuk Suku Kajang tidak lantas mudah dilakukan. Demikian menurut Pak Bolong, yang merupakan wakil Amma Toa (setingkat menteri di tatanan adat). Pak Muksin pun menambahkan, para tenaga kesehatan harus berjalan kaki selama tiga jam lebih untuk mencapai kampung Benteng di Tana Toa.
Itu karena keharusan yang ditegaskan adat tadi. Belum lagi dengan sempat beredarnya hoaks di kalangan warga Kajang, yang menurut Pak Bolong sempat menjadi kendala tersendiri.
“Saya sampaikan kepada warga, program vaksinasi pemerintah pasti memiliki tujuan yang baik untuk keselamatan rakyatnya. Apa pun program yang dilaksanakan pemerintah, tidak akan mencelakakan rakyat, tujuannya baik,” kata Pak Bolong kepada warga suku Kajang.
Ia juga menegaskan, vaksinasi penting sebagai usaha menghalangi penyakit yang tengah menggejala, Covid-19.
“Vaksinasi dilakukan untuk membuat masyarakat tidak gampang tertular penyakit,” ungkapnya penuh keyakinan.
Yang membuat kalimatnya ampuh bertuah, Pak Bolong sendiri sudah menjalani tiga kali vaksinasi, termasuk sekali vaksin booster.
“Saya sehat-sehat saja, itu membuat mereka berani,” tambahnya.
Tiga jam perjalanan jalan kaki itu tentu saja tidak dijalani laiknya di jogging track yang mulus. Para petugas kesehatan dari Puskesmas Kajang dan Kabupaten Bulukumba itu harus menembus ‘Hutan Karamaka’ yang dikeramatkan, serta ‘Hutan Batasayya’, selain ‘Hutan Laura’ yang menjadi hak warga untuk dikelola. Sekali pun ada pembedaan, yang menarik adalah jika ada pelanggaran untuk penrusakan hutan akan dikenakan denda, antara Rp1,2 juta hingga yang teringan, Rp800 ribu. Yang mengerikan warga justru hukuman lain. Yakni dikucilkan selama tujuh keturunan!
Alhasil, karena hutan seluas 332 hektare itu sebagian masih perawan, tim kesehatan pun tak jarang harus berjuang ekstra. Perjalanan tiga jam itu pas menggambarkan peribahasa Sunda, nete akar, ngeumbing jangkar alias meniti akar dan menggelantung pada surai pepohonan.
Dan benar kata orang Barat, no pain no gain. Segala kesulitan itu pun berbuah manis. Tanpa melalui strategi khusus, hanya mendatangi warga dari pintu ke pintu, dibantu warga yang membentuk tim-tim kesehatan terdiri dari 4-5 orang, plus pemuka adat dan aparat untuk pengamanan, vaksinasi pun berjalan lancar. Warga enam desa, yakni lima desa Kajang ‘luar’ dan satu desa Kajang ‘dalam’ pun tervaksinasi.
“Dosis vaksinasi 1 mencapai sekitar 81 persen target. Vaksinasi tahap dua baru 50 persen. Yang ketiga yang masih tergolong rendah, baru 10 persen,” kata Muksin.
Soal dosis ketiga ini tersebar kabar bahwa warga sudah merasa cukup dengan dua kali vaksinasi. Sementara ini warga banyak yang belum memahami bahwa vaksinasi booster adalah merupakan vaksinasi lanjutan yang juga harus diambil.
“Ini tantangan tersendiri. Kami akan kembali lebih mengefektifkan gerakan ‘door to door’,” kata Pak Bolong.
Yang harus juga dipecahkan adalah formulasi waktu, karena masyarakat Kajang adalah masyarakat yang cukup sibuk berladang atau berburu. Mereka sering tidak berada di rumah pada saat-saat tertentu.
Sama dengan tantangan di Kajang, vaksinasi untuk kalangan difabel di Kabupaten Bantaeng, Makassar, pun memunculkan tantangan tersendiri. Vaksinasi kepada kalangan ini dilakukan karena sebagaimana warga lainnya, mereka juga memiliki hak yang sama dan setara.
Pada sisi ini baik Ibu Hera maupun Ibu Nur Aikisa (31), seorang guru pendamping di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Lasepang, Bantaeng, berperan sangat signifikan. Manakala Covid-19 merebak, kata Ibu Nur, dirinya tergerak melakukan usaha untuk memberikan penyuluhan tentang vaksinasi dan edukasi penerapan protokol kesehatan Covid-19, baik di sekolah, di rumah atau pun dalam keseharian bermasyarakat. Siswa-siswanya ia bekali agar mau dan taat dalam menggunakan masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, serta aturan lainnya.
Hal itu bahkan ia lakukan tidak hanya kepada siswa difabel, melainkan pula orang tua mereka. Didampingi tenaga kesehatan yang tentu lebih kompeten menerangkan, Nur dengan cara sederhana, menggunakan gambar-gambar, menerangkan segala hal tentang Covid kepada para siswa didiknya yang mengalami difabel. Tujuannya, selain mereka mengerti, juga mau menjalani vaksinasi pada saatnya.
Di sisi lain, Ibu Hera yang dibantu 13 faskes, rumah sakit, klinik Bhayangkara dan klinik Kodim, bergerak melakukan vaksinasi untuk kaum difabel. Tim Kesehatan Kabupaten Bantaeng bahkan berkali-kali melakukan pendataan, menganalisis titik-titik lokasi warga difabel yang sulit dijangkau atau terisolasi. Setelah terdata, langsung mereka datangi.
Kabar-kabar hoaks juga menjadi tantangan besar buat tim. “Beredar kabar hoaks bahwa setelah divaksinasi akan sakit. Ada juga kabar bahwa dalam jangka dua tahun setelah vaksinasi, orang bisa meninggal. Macam-macamlah,” kata ibu Hera. Belum lagi banyaknya ‘KIPI’ atau ‘Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi’ berupa gejala dan keluhan yang timbul setelah vaksinasi, di antaranya demam, sakit sendi, dan lain-lain.
Untunglah, tim punya solusi tersendiri. “Karena sadar harus intens, kami pun mengusung program “Edutabo, atau Edukasi Tanpa Bosan’. Tim ini kerap memiliki jadwal padat seperti mengunjungi tempat-tempat pelayanan untuk mengedukasi, membagikan leaflet, dan memberikan vaksinasi.
Hasilnya? “Capaian vaksinasi tahap 1 sudah tergolong baik yaitu sebesar 83 persen. Namun masih perlu peningkatan kembali agar bisa lebih mencapai target,” kata Hera, mengungkap data pers 22 Oktober lalu. Sementara untuk vaksinasi tahap 2 baru mencapai sekitar 53 persen, dan vaksinasi booster baru 11,8 persen.
Hidup seolah meniscayakan akulturasi, target tim adat Kajang pun sederhana saja, layaknya prinsip hidup Suku Kajang yang mengajarkan 4 hal penting guna menjaga kesehatan, keamanan, serta keselamatan dunia akhirat, diantaranya; menjaga pandangan mata (hal yang dilihat), menjaga mulut (lisan yang diucapkan), menjaga tangan (hal yang dilakukan), serta menjaga kaki (setiap langkah hidup).
Demikian Suku Kajang berharap kepada setiap masyarakatnya, maupun pengunjung yang ingin bertandang ke wilayah adat mereka. Ketika keempat hal ini dilakukan secara tulus sukarela untuk menjaga Bumi, alam sekitar dan setiap penghuninya, maka tidaklah sulit bagi Suku Kajang untuk secara terbuka menerima vaksinasi sebagai bentuk kepedulian menjaga diri, orang lain, dan alam tempat mereka tinggal dari ancaman Covid-19. Karena sesungguhnya kesadaran itulah yang mahal dan telah menjadi cara Suku Kajang hidup selama ini agar tetap lestari di alamnya. Sementara kesadaran dan dorongan kuat dari masyarakat Bantaeng perihal dalam perjuangan melawan Covid-19 sebenarnya tidak muluk-muluk.
“Yang kami inginkan sederhana saja, semua warga bisa divaksin, tahap satu, dua, dan booster. Demi Kesehatan bersama,” kata Hera, mewakili tim tenaga kesehatan di salah satu unit layanan Kabupaten Bantaeng.
Demikianlah pelajaran dua kisah perjuangan kalangan terbatas Suku Kajang dan masyarakat difabel di Bantaeng. Keduanya berusaha hidup bersama alam dan penghuninya agar selamat dari Covid-19, dengan siap menerima vaksin lengkap sebagai bentuk pertahanan melindungi diri dan orang lain.***
Editor: Edwar Yaman